4 Manfaat "Coaching" untuk Generasi Milenial

Bagikan ke Twitter
KOMPAS.com — Melanjutkan kajian mengenai peran kepemimpinan pada era generasi milenial yang semakin meningkat populasinya, pada edisi ini kita kupas secara cepat dan tepat 4 manfaat coaching khususnya untuk generasi milenial.



Sebagaimana penjelasan pada edisi yang lalu, generasi milenial atau mereka yang lahir pada era 1980-an hingga 2000-an terbukti secara ilmiah memiliki tipikal perilaku dan pola pikir yang khas, yang dalam hal ini memengarui cara mereka menjalankan proses kerja.

Di saat yang sama, banyak atasan mereka yang rata-rata adalah generasi X atau Y tidak sadar atau bahkan tidak memiliki pengetahuan tentang hal ini sehingga para pimpinan ini memperlakukan dan memimpin generasi milenial seperti mereka diperlakukan dan dipimpin oleh seniornya atau atasan mereka dulu.

Zaman sudah berubah!

Padahal kenyataannya, pendekatan itu ternyata tidak cocok dan tidak pas untuk digunakan dalam memimpin dan memberdayakan potensi dahsyat generasi milenial tersebut. Alhasil, yang terjadi adalah banyaknya friksi dan konflik antara atasan dan mereka para anggota tim, yang berujung pada meningkatnya angka turnover yang sangat signifikan.

Inilah yang disebut dengan "sindrom generation gap". Ada beberapa korporasi yang merasakan dan menyadarinya. Namun, lebih banyak yang tidak sadar dan tetap merasakan dampaknya, yaitu sulitnya mempertahankan talenta dari generasi milenial.

Riset empiris yang kami lakukan, ada satu pendekatan sederhana yang ternyata cocok untuk memimpin dan memberdayakan generasi yang terkenal sangat inovatif dan kreatif ini, dan cara itu adalah coaching.

Namun, ini bukan sembarang teknik coaching yang mungkin selama ini Anda kenal atau praktikkan. Langsung saja, kita kupas 4 manfaatcoaching untuk memimpin dan mengelola generasi milenial. Hal ini penting untuk membangun kesadaran kita, betapa saat ini kondisi sangat berbeda dan tentu membutuhkan cara yang berbeda pula.

Manfaat pertama adalah, coaching yang dilakukan kepada generasi milenial akan mampu membangun rasa hormat atau respek dari semua pihak, baik pihak yang memimpin dalam hal ini generasi X dan Y atau pihak yang dipimpin, yaitu generasi Z atau milenial.
Mengapa ini bisa terjadi?

Pendekatan coaching sangat cocok dengan tipikal generasi milenial, yaitu mereka sangat ingin diakui kehebatan, kontribusi, serta ide brilian mereka. Oleh sebab itu, mereka sangat merindukan untuk dilibatkan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, bukan sebaliknya, hanya sebagai obyek keputusan.

Ketika mereka dilibatkan, mereka merasa dihormati; dan jika ini terjadi maka mereka akan melakukan hal yang sama, yaitu menghormati atau respek kepada atasan mereka dengan sukarela dan sukacita.

Adapun manfaat kedua adalah, coaching akan memampukan generasi milenial untuk terus terikat secara kuat atau memiliki engagement dengan korporasi dan pemimpin mereka. Hal ini wajar terjadi akibat dari manfaat pertama di atas; yaitu ketika mereka menaruh rasa hormat dengan sendirinya, mereka akan terus menjadi bagian dari tim.

Hal ini sangat penting karena salah satu isu krusial berkaitan dengan generasi milenial ini adalah bahwa sulit sekali mereka terikat secara kuat dengan pimpinan atau organisasi. Fakta bahwa 75 persen mereka resignkarena meninggalkan pemimpin mereka bukan karena korporasi, hal ini harus menjadi pertimbangan.

Kita lanjutkan kepada manfaat ketiga dari coaching khusus untuk generasi milenial, yaitu akan menyeimbangkan fungsi leading dan managing yang harus dilakukan oleh atasan langsung mereka.

Fungsi leading dan managing ini juga wajib dijalankan oleh mereka generasi Z, terutama ketika harus menyelesaikan suatu tugas atau mencapai target tertentu.

Dengan coaching, kedua fungsi tersebut bisa dijalankan secara seimbang dan paralel. Sebagai dampaknya, kedua belah pihak akan semakin akur dan kompak sehingga meminimalkan friksi dan mencegah konflik yang tidak perlu.

Manfaat keempat atau yang terakhir adalah, coaching terbukti secara masif mampu membentuk high performance team, khususnya untuk tim yang baru terbentuk.

Menurut penulis Bruce Tuckman, ada setidaknya 4 tahap bagi sebuah tim untuk terbentuk dan mampu mencapai kinerja terbaik, yaitu forming,storming, norming, dan performing.

Umumnya, tim yang baru terbentuk, khususnya jika sebagian besar dari mereka adalah generasi milenial, akan menghadapi tantangan besar pada tahap storming.

Jika seorang leader gagal melewati fase tersebut, maka bisa dipastikan tim yang dipimpinnya bubar barisan, dan dia harus mulai dari awal lagi, yaitu forming alias harus merekrut tim baru lagi, dengan coaching fasestorming bisa diatasi secara mulus sehingga sebuah tim akan mudah mencapai tahap performing.

Subscribe to receive free email updates: