Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi terus berkonsolidasi dengan para ulama dan ormas Islam. Kali ini, Jokowi bertemu pimpinan pondok pesantren dari berbagai daerah.
Dalam pertemuan itu, para pimpinan pondok pesantren memberikan pandangan dan masukan, soal kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Termasuk, proses gelar perkara terbuka dalam kasus tersebut.
"Sejauh mana transparansi yang beradab sesuai dengan perundang-undangan," kata pimpinan Majelis Pesantren Salafiyah Banten H Martin Sarqowi, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis malam 10 November 2016.
"Saya tidak mau juga terbuka ini telanjang bulat, itu namanya mempertontonkan aurat, enggak bagus. Karena kita manusia beradab kita punya aturan," sambung dia.
Martin menjelaskan, proses hukum kasus dugaan penistaan agama memang harus terus dilakukan. Hanya saja, jangan terlalu ikut dalam ranah tafsir. Tak dipungkiri, umat Islam memang punya cara masing-masing menafsirkan Alquran, tapi itu menjadi khasanah yang harus dihormati.
"Mari kita semua untuk tidak bersuuzan, positif thinking, jangan selalu negatif thinking. Umat Islam jangan terpecah belah. Mari kita berdakwah dengan mauizah hasanah, bahwa ini sudah masuk ranah hukum, mari kita awasi bersama," imbau dia.
Terkait rencana demonstrasi lanjutan pada 25 November, Martin tidak bisa berandai-andai. Dirinya juga tidak bisa menjamin bila masih banyak umat Islam yang akan turun ke jalan untuk menyerukan keadilan.
"Itu kan hak. Sejauh turun ke jalan itu membawa kemanfaatan, siap dengan persoalan, menerima, taat aturan, saya pikir itu hak. Enggak bisa dilarang, enggak bisa dipaksa turun juga. Tapi biarkan proses hukum berjalan, kita plototin aja," pungkas Martin.
Demonstrasi dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, di Istana Negara pada 4 November 2016 berakhir ricuh. Puluhan pendemo dan polisi terluka, serta lima anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terduga provokator menjadi tersangka.